JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Anita Jacoba, marah dan meminta pimpinan Komisi X untuk memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Amarah itu diluapkan Anita saat rapat kerja Komisi X DPR dengan jajaran di Kemendikbud, termasuk Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Awalnya, dia menyinggung soal kekurangan anggaran Rp 15 triliun di Kemendikbud. Anita mengatakan, kementerian seharusnya melakukan koreksi diri kenapa kekurangan itu bisa terjadi.
Dia kemudian menyebut bahwa realisasi anggaran Kemendikbud masih bermasalah karena tidak sampai kepada penerima atau peruntukannya. Anita memberi contoh, di daerah pemilihan (dapil)-nya di Nusa Tenggara Timur (NTT), ada 17 bangunan sekolah yang sampai sekarang belum selesai pembangunannya, padahal sudah dianggarkan sejak tahun 2021.
“Sampai hari ini Pak Menteri berulang kali saya katakan bahwa masih banyak persoalan terhadap realisasi anggaran dan penyerapan anggaran itu ke daerah. Transfer daerah itu banyak persoalan. Sampai sekarang, guru yang sudah lolos PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) belum dikasih SK (surat keputusan). Di Provinsi NTT belum, mereka belum terima SK,” kata Anita yang langsung menunjuk Nadiem.
“Guru-guru daerah terpencil masih banyak yang belum terima juga tunjangannya, Banyak bangunan sekolah yang masih terbengkalai, padahal dari 2021 anggarannya. Saya kasih contoh di Kabupaten Kupang ada 17 bangunan sekolah dari 2021 sampai sekarang tidak terselesaikan,” ujarnya. Ditambah lagi, menurut Anita, persoalan realisasi anggaran dari Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan dana bos.
Bahkan, Anita sempat menantang Kemendikbud untuk turun bersama langsung ke lapangan memeriksa apakah PIP diterima dengan baik oleh penerimanya. Pasalnya, banyak yang masuk data penerima, tetapi tidak pernah menerima hak mereka.
“Kalau Anda hanya turun, turun hanya di dinas, semua jawabannya bagus. Tapi coba turun ke rakyat, turun ke penerima orangtua, kalau enggak lihat itu orangtua punya air mata. Omong kosong, nama ada, SK ada, uang nol. Sampai hari ini,” katanya diakhiri dengan nada tinggi.
Dia juga mengatakan, jajaran pejabat Kemendikbud yang saat ini tidak memberikan solusi di bidang pendidikan untuk daerah tertinggal. Padahal, menurut dia, terdiri dari orang-orang pintar dan berpendidikan.
“Hanya membuat persoalan di daerah, yang tertinggal tetap tertinggal, yang guru menangis tetap menangis. Bicara plafon digital, mana keadilan untuk daerah 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Enak daerah-daerah yang sudah ada internetnya diberikan terus, tapi kita yang daerah 3 T yang tidak ada internetnya dibiarkan begitu saja. Mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Pak Menteri? Saya sangat kecewa,” kata Anita sambil sesekali memukulkan tangan ke meja.
Oleh karena itu, dia mengatakan, tidak perlu ada penambahan anggaran untuk Kemendikbud dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Bahkan sebaliknya, Anita meminta agar pimpinan Komisi X DPR RI melayangkan rekomendasi ke KPK agar memeriksa anggaran di Kemendikbud.
“Saya minta bapak ibu pimpinan, kita berikan rekomendasi kepada KPK, periksa apa yang ada di Kemendikbud karena ini ada banyak persoalan, PIP, KIP, dana bos, banyak hancur ini. Tolong ibu saya minta ke pimpinan, kita berikan rekomendasi ke KPK, periksa dari tahun 2021, 2022, 2023. Enggak usah tambah anggaran kalau memang banyak korupsi, uang negara habis bukan untuk rakyat,” kata Anita dengan kesal.
Tak hanya dibuat kesal karena masalah anggaran, Anita kembali berapi-api saat menyoroti kebijakan yang dibuat Kemendikbud. Dia menyebut soal Peraturan Sekretariat Jenderal (Persesjen) yang dikeluarkan oleh Sekjen Kemendikbud Suharti.
Menurut dia, ada isi pasal dalam Persesjen itu yang menyebut bahwa data yang direkomendasikan oleh Komisi X DPR harus diverifikasi ulang oleh dinas pendidikan.
Anita menegaskan, kebijakan tersebut salah karena seharusnya Kementerian yang melakukan verifikasi terhadap dinas. Kemudian, dinas melakukan verifikasi terhadap kepala sekolah. Lalu, hasilnya diberikan kepada DPR untuk dilaporkan
“Anda sebagai kementerian mau enggak dilakukan verifikasi oleh dinas? Jangan apa yang kita suruh lakukan harus diverifikasi oleh dinas. Kita ini lembaga tinggi negara, wakil rakyat. Kita yang menentukan anggaran di Indonesia ini, bagaimana kepala dinas bisa memverifikasi data yang kita berikan,” ujar Anita.
Anita kemudian menekankan bahwa data rekomendasi yang diberikan oleh Komisi X berasal dari data pokok pendidikan (dapodik). Oleh karena itu, dia menjadi marah kenapa harus diverifikasi lagi oleh setingkat dinas pendidikan.
“Jangan begitu dong bikin Persesjen memalukan Bu Sekjen. Ya iyalah. Anda jangan senyum. Anda membuat Persesjen data kita diverifikasi oleh dinas. Mending kalau kepala dinasnya bersih. Kalau kepala dinasnya justru yang mencuri uang PIP bagaimana, Ibu?” kata Anita langsung mengarah kepada Sekjen Kemendikbud Suharti.
“Saya marah Pak Menteri untuk kesekian kalinya karena ini memang kenyataannya di lapangan. Jangan dong kita dibikin seperti anak kecil, kok apa yang diusulkan kita mesti diverifikasi oleh dinas pendidikan. Anda mau enggak sebagai menteri diverifikasi oleh dinas? Jangan aneh-anehlah,” ujarnya kepada Nadiem dengan geram.
Lebih lanjut, Anita kembali menyebut bahwa anggaran Kemendikbud tidak usah ditambah karena banyaknya persoalan yang telah dia jabarkan sebelumnya.
“Saya yakin dan percaya sampai ini anggaran turun karena Tuhan itu lihat air mata orang miskin. Jadi kalau anggaran turun, jangan marah, mungkin inilah kehendak Tuhan supaya kita koreksi diri, setop, dan bertobat kalau mau lihat bangsa ini baik,” katanya. (Abner)