Medio 2014, penulis pernah merilis sebuah refleksi berjudul: Gugat Kerukunan Kita!. Refleksi tersebut mengurai sebuah bentuk pola pikir kritis yang berangkat dari praktek masyarakat masa itu, yang tampak tidak lagi akur, tidak mempraktekkan sikap rukun, dan karena itu harus digugat kerukunan yang dikenal selama ini di Sulawesi Utara.
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat juga disuguhkan oleh beberapa konten video yang diunggah di berbagai media sosial, di mana ada orang yang mengata-ngatai sesama suku lain, dan bahkan mencaci maki suku lain itu.
Teranyar orang tersebut telah diproses oleh yang berwajib. Kendati demikian, apapun itu, penulis merasa bahwa terdapat sesuatu yang tidak beres dalam pola pikir, dan pola laku/tindak masyarakat yang saat ini berada dalam era masyarakat jaringan.
Masyarakat jaringan secara sederhana dapat dikatakan sebagai struktur sosial masyarakat yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi yang dijalankan oleh jaringan, yang bersumber pada jaringan komputer digital di mana didalamnya ada proses produksi dan distribusi informasi, di atas pengetahuan yang terhimpun pada pusat jaringan. (Ohoiwutun, 2020: 101).
Dalam masyarakat jaringan tercipta keterkaitan orang dalam suatu jalinan kepentingan bersama yang melampaui batas-batas seperti negara, daerah, etnis dan lain sebagainya.
Baca : https://malang-post.com/2021/02/28/memahami-masyarakat-jaringan/
Arti sederhannya dalam praksis kita adalah bahwa semua hal yang dilakukan tentu bisa tanpa pertemuan langsung, tanpa interaksi ‘man to man’, namun dengan cepat, mudah dan secara ‘real time’, bisa diketahui oleh sesama di belahan dunia lain. Itu tentu merupakan wujud kemudahan masyarakat, dalam budaya masyarakat jaringan, namun kemudahan tersebut justru menyebabkan tidak adanya batas antara satu dengan yang lain, dan lebih parah lagi semua hal yang disinyalir melanggar etika publik, tidak terpikirkan oleh oknum (baca kreator) penyedia informasi, sebelum dipublikasikan.