Kemerdekaan berpikir juga membuat kita tak di belenggu oleh feodalisme kolot yang enggan menerima pembaharuan kekinian. Ruang kolaborasi intelektual mudah di rajut antara era masa lalu, masa kini dan masa depan.
Kemerdekaan berpikir seperti ini harus menjadi kultur progresif di tengah kita, baik dalam ruang diskursus formal maupun non-formal. Dengan demikian, setiap diskursus yang terbangun tak ada lagi debat kusir yang kental dengan “self claim” satu dgn lainnya. Karena, kita tak lagi di provokasi oleh “sentimen subyektif”, tapi di bangun oleh “argumen obyektif”.
Berani berpikir merdeka akan melahirkan gagasan yang memiliki “energi inovasi” dan “energi revolusi”. Kedua energi tersebut bisa mengubah pesimisme yang inferior menjadi optimisme yang rasional, mengubah apatisme dalam “silent majority” terpicu untuk bangkit dalam progresifitas. Musuh utama dari kemerdekaan berpikir adalah “kebodohan” dan “pembodohan”.
Kebodohan adalah kondisi defisit kualitas intelektual, kondisi ini bisa di netralisir dengan peran “edukasi” yang sifatnya konstruktif dan inovatif. Pembodohan adalah kondisi di berangusnya “kebebasan berpikir” dan “kebebasan berpendapat” dari masyarakat. Instrumen kekuasaan memberagus ruang argumentasi kritis melalui dominasi, intimidasi dan manipulasi masif. Dan, untuk menetralisir pembodohan melalui “konfrontasi” yang terorganisir secara progresif.