Oleh : Olviati Manuho
Kemerdekaan berpikir adalah sebuah kejujuran dan ketulusan untuk berlogika kritis. Menyimak dan menyimpulkan sebuah fenomena bukan berpijak pada asumsi subyektif tapi pada telaah obyektif. Dan utk mencapai tingkatan ini bukan hanya butuh kercerdasan tapi keberanian untuk melakukannya. Output dari kemerdekaan berpikir akan selalu melahirkan otokritik etis, logis, bersifat prinsip dan progresif.
Kemerdekaan berpikir membuat kita berani menyampaikan kebenaran secara prinsip tanpa ragu (tegas). Kita tegas menyampaikan kebenaran tanpa merasa diri paling benar dari orang lain, atau merasa lebih superior dri orang lain.
Motivasi yang mendorong penegasan kebenaran ini di gerakan oleh ketulusan dan kepedulian agar publik tak terjebak dalam bias intelektual yang tragis. Dengan demikian, publik akan di cemeti oleh “otokritik prinsipil” sehingga tak terpeleset dalam sesat pikir dan sesat adab.
Kemerdekaan berpikir membuat kita sangat luwes dalam benturan argumentasi. Kita akan berkawan karib dgn oposisi pemikiran meski memicu polemik. Kita cukup matang untuk tak terusik dengan adanya oposisi pemikiran. Karena kita sadar, ruang diskursus selalu butuh “lawan tanding” berkualitas utk mengasah argumentasi kritis yang tajam.
Kita bisa berpolemik secara logis, bahkan sengit tapi dalam atmosfer penuh kesejukan. Benturan gagasan kritis tak bersifat memecah belah, tapi malah lebih mengikat solidaritas di tengah gagasan majemuk. Kita belajar berpikir independen tapi terbuka terhadap ruang pemikiran heterogen.
Polemik dalam diskursus dengan mudah di tapis dari polusi sentimen, dan akan mengental pada konstruksi gagasan komplementer yang sifatnya konstruktif, obyektif dan solutif.
Kemerdekaan berpikir juga membuat kita sangat legowo jika argumen pribadi kita bisa di tundukan argumen orang lain yang lebih obyektif. Sikap legowo menjadi cermin yang jernih di mana hati kita steril dari iritasi ego. Kita tak terjebak dalam arogansi argumen subyektif yang selalu gagal menciptakan kolaborasi pemikiran obyektif.